· Suku Aceh
Suku Aceh merupakan salah satu propinsi yang letaknya di kawasan bagian barat atau bagian penghujung bagian utara pulau sumatra.Propinsi ini terletak pada garis 2 LU-6 LU dan 98 BT,yang terhampar di areal seluas 55,390 km².
Masyarakat adat Aceh memiliki bahasa Aceh sebagai bahasa pergaulan.Tiap bahasa pergaulan yang di ucapkan oleh masing-masing masyarakat adat yang memiliki intonasi antara 1 tempat dengan tempat yang lain.
Kesenian pada suku Aceh antara lain Dabol, adalah suatu bentuk kesenian yang di mainkan oleh beberapa orang dengn mengunakan gendrang. permainan ini di pimpin oleh khalifah. Selain itu ada Sama Gayo yaitu suatu bentuk kesenian yang di mainkan oleh beberapa orang laki-laki. Pada bentuk kesenian ini terpadu unsur seni suara dan tari.
Masyarakat adat Aceh memiliki sistem pengetahuan yang mencangkup tentang fauna,flora,bagian tubuh manusia,gejala alam,dan waktu.Mereka mengetahui dan memiliki pengetahuan itu dari ”dukun”,”orang tua adat”,dan “keujuren”. Masyarakat adat Aceh demikian juga masyarakat adat aneuku jamee adalah pemeluk agama islam dan mereka tidak mengenal dewa-dewa. kepercayaan agama lainnya hanya berkembang di kalangan para pedagang.
· Suku anak Dalam jambi
· Suku anak Dalam jambi
Asal usul Suku Anak Dalam sering juga disebut dengan orang rimba atau Suku Kubu merupakan salah satu suku asli yang ada di Provinsi Jambi. Suku Anak Dalam dalam hidup berpindah-pindah. Dikawasan hutan secara berkelompok dan menyebar di beberapa Kabupaten, seperti di Kabupaten Batang hari, Tebo, Bungo, Sarolangun dan Merangin.
Suku Anak Dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya diatur dengan aturan, norma dan adat istiadat yang berlaku sesuai dengan budayanya. Dalam lingkungan kehidupannya dikenal istilah kelompok keluarga dan kekerabatan, seperti keluarga kecil dan keluarga besar. Keluarga kecil terdiri dari suami istri dan anak yang belum menikah. Keluarga besar terdiri dari beberapa keluarga kecil yang berasal dari pihak kerabat istri. Anak laki-laki yang sudah kawin harus bertempat tinggal dilingkungan kerabat istrinya. Mereka merupakan satu kesatuan sosial dan tinggal dalam satu lingkungan pekarangan. Setiap keluarga kecil tinggal dipondok masing-masing secara berdekatan, yaitu sekitar dua atau tiga pondok dalam satu kelompok.
Kepercayaan Suku Anak Dalam terhadap Dewa-dewa roh halus yang menguasai hidup tetap terpatri, kendatipun diantara mereka telah mengenal agama islam. Mereka yakini bahwa setiap apa yang diperolehnya, baik dalam bentuk kebaikan, keburukan, keberhasilan maupun dalam bentuk musibah dan kegagalan bersumber dari para dewa. Sebagai wujud penghargaan dan persembahannya kepada para dewa dan roh, mereka melaksanakan upacara ritual sesuai dengan keperluan dan keinginan yang diharapkan. Salah satu bentuk upacara ritual yang sering dilaksanakan adalah Besale (upacara pengobatan).
Suku Anak Dalam meyakini bahwa penyakit yang diderita sisakit merupakan kemurkaan dari dewa atau roh jahat oleh sebab itu perlu memohon ampunan agar penyakit yang diderita dapat disembuhkan. Properti yang digunakan dalam upacara besale sangat sarat dengan simbol-simbol.
· Suku abung Lampung
Suku Abung tinggal di bagian timur laut Propinsi Lampung. Di sebelah utara dialiri sungai Tulang Bawang, sedang sebelah barat berbatasan dengan daerah Lampung Utara dan Barat. Sebelah selatannya berbatasan dengan Selat Sunda, dan sebelah timurnya Laut Jawa.
Pola perkampungan suku Abung berupa komunitas adat (tiuh), dimana setiap klen memiliki rumah permanennya sendiri. Tetapi rumah-rumah klen ini hanya dihuni oleh sedikit orang saja, dan biasanya orang-orang yang sudah tua, sementara kaum pekerja dewasa dan anak-anak kebanyakan tinggal di pemukiman musiman.
Kelompok kekeluargaan dasar mereka adalah klen patrilineal eksogami, suku yang dikepalai oleh penyimbang yaitu suatu posisi yang secara turun temurun dipegang oleh kaum pria. Biasanya ada 10 suku dalam komunitas desa.
Pola pernikahan dan pola menetap sesudah menikah bersifat patrilokal. Poligami diperbolehkan, tetapi kenyataannya hanya dilakukan oleh orang-orang yang kaya. Pernikahan antar saudara bahkan antar sepupu dilarang. Perceraian secara teoritis tidak memungkinkan menurut adat; jika seorang istri meninggalkan suaminya, pihak suami harus membayar denda kepada dewan adat desa. Bentuk kesenian suku ini adalah tari tigel, suatu tari perang kuno, yang dilakukan bersama
· Suku batak Sumareta Utara
Dilihat dari wilayah administratif, Suku batak mendiami beberapa Kabupaten atau bagaian dari wilayah Sumatra Utara. Yaitu Kabupaten Karo, Simalungun, Dairi, Tapanuli Utara, dan Asahan.
Dalam kehidupan dan pergaulan sehari-hari, orang Batak menggunakan beberapa logat, ialah: (1)Logat Karo yang dipakai oleh orang Karo; (2) Logat Pakpak yang dipakai oleh Pakpak; (3) Logat Simalungun yang dipakai oleh Simalungun; (4) Logat Toba yang dipakai oleh orang Toba, Angkola dan Mandailing.
Pada tradisi suku Batak seseorang hanya bisa menikah dengan orang Batak yang berbeda klan sehingga jika ada yang menikah dia harus mencari pasangan hidup dari marga lain selain marganya. Apabila yang menikah adalah seseorang yang bukan dari suku Batak maka dia harus diadopsi oleh salah satu marga Batak (berbeda klan). Acara tersebut dilanjutkan dengan prosesi perkawinan yang dilakukan di gereja karena mayoritas penduduk Batak beragama Kristen.
Kelompok kekerabatan suku bangsa Batak berdiam di daerah pedesaan yang disebut Huta atau Kuta menurut istilah Karo. Biasanya satu Huta didiami oleh keluarga dari satu marga. Ada pula kelompok kerabat yang disebut marga taneh yaitu kelompok pariteral keturunan pendiri dari Kuta. Marga tersebut terikat oleh simbol-simbol tertentu misalnya nama marga.
Orang batak mempunyai konsepsi bahwa alam semesta beserta isinya diciptakan oleh Debeta Mula Jadi Na Balon dan bertempat tinggal diatas langit dan mempunyai nama-nama sesuai dengan tugasnya dan kedudukanya . Debeta Mula Jadi Na Balon : bertempat tinggal dilangit dan merupakan maha pencipta; Siloan Na Balom: berkedudukan sebagai penguasa dunia mahluk halus. Dalam hubungannya dengan roh dan jiwa orang batak mengenal tiga konsep yaitu : Tondi: jiwa atau roh; Sahala : jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang; Begu : Tondinya orang yang sudah mati. Orang batak juga percaya akan kekuatan sakti dari jimat yang disebut Tongkal.
Seni Tari yaitu Tari Tor-tor (bersifat magis); Tari serampang dua belas (bersifat hiburan). Alat Musik tradisional : Gong; Saga-saga. Hasil kerajinan tenun dari suku batak adalah kain ulos. Kain ini selalu ditampilkan dalam upacara perkawinan, mendirikan rumah, upacara kematian, penyerahan harta warisan, menyambut tamu yang dihormati dan upacara menari Tor-tor. Kain adat sesuai dengan sistem keyakinan yang diwariskan nenek moyang.
Nilai kekerabatan masyarakat Batak utamanya terwujud dalam pelaksanaan adat Dalian Na Talu, dimana seseorang harus mencari jodoh diluar kelompoknya, orang-orang dalam satu kelompok saling menyebut Sabutuha (bersaudara), untuk kelompok yang menerima gadis untuk diperistri disebut Hula-hula. Kelompok yang memberikan gadis disebut Boru.
· Suku Gayo di Aceh: Gayo Lues Aceh Tengah Bener Meriah
Suku Gayo adalah sebuah suku bangsa yang mendiami dataran tinggi di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Suku Gayo mendiami tiga kabupaten yaitu Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Bener Meriah dan Kabupaten Gayo Lues. Suku Gayo juga mendiami beberapa desa di Kabupaten Aceh Tenggara , Kabupaten Aceh Tamiang , Kecamatan Beutong Kabupaten Nagan Raya dan di Kecamatan Serba Jadi di Kabupaten Aceh Timur.
Suku Gayo beragama Islam dan mereka dikenal taat dalam agamanya. tetapi masih ada yang percaya terhadap praktek perdukunan. Suku Gayo menggunakan bahasa yang disebut bahasa Gayo.
Suku Gayo beragama Islam dan mereka dikenal taat dalam agamanya. tetapi masih ada yang percaya terhadap praktek perdukunan. Suku Gayo menggunakan bahasa yang disebut bahasa Gayo.
Masyarakat Gayo hidup dalam komuniti kecil yang disebut kampong. Setiap kampong dikepalai oleh seorang gecik. Kumpulan beberapa kampung disebut kemukiman, yang dipimpin oleh mukim. Sistem pemerintahan tradisional berupa unsur kepemimpinan yang disebut sarak opat.
Sebuah kampong biasanya dihuni oleh beberapa kelompok klen (belah). Anggota-anggota suatu belah merasa berasal dari satu nenek moyang, masih saling mengenal, dan mengembangkan hubungan tetap dalam berbagai upacara adat. Garis keturunan ditarik berdasarkan prinsip patrilineal. Sistem perkawinan yang berlaku berdasarkan tradisi adalah eksogami belah, dengan adat menetap sesudah nikah yang patrilokal (juelen) atau matrilokal (angkap).
Suatu unsur budaya yang tidak pernah lesu di kalangan masyarakat Gayo adalah kesenian, yang hampir tidak pernah mengalami kemandekan bahkan cenderung berkembang. Bentuk kesenian Gayo yang terkenal, antara lain tari saman dan seni bertutur yang disebut didong. Selain untuk hiburan dan rekreasi, bentuk-bentuk kesenian ini mempunyai fungsi ritual, pendidikan, penerangan, sekaligus sebagai sarana untuk mempertahankan keseimbangan dan struktur sosial masyarakat. Di samping itu ada pula bentuk kesenian Seperti: Tari bines, Tari Guel, Tari munalu,sebuku(pepongoten),guru didong, dan melengkan (seni berpidato berdasarkan adat), yang juga tidak terlupakan dari masa ke masa, Karena Orang Gayo kaya akan seni budaya.
· Suku Gumai di Sumatera Selatan: Lahat
Suku Gumai adalah salah satu suku yang mendiami daerah di Kabupaten Lahat Provinsi Sumatera Selatan. Suku Gumai bukan saja sebagai identitas diri seseorang dalam hal nama, akan tetapi juga merupakan identitas asal daerah, identitas daerah serta identitas keturunan.
Pemerintahan di Gumai adalah Pemerintahan Adat, artinya bahwa pemerintahan diselenggarakan berdasarkan adat Gumai. Pemerintahan adat ini membidangi masalah semua usaha kesehatan dan kesejahteraan rakyat serta ketertiban dan keamanan umum lahir dan batin.
Suku Gumai serumpun dengan suku Besemah dan suku Semidang. Bahasa : Bahasa Gumai dikenal dan disebut sebagai Bahasa Lematang. Aksara yang dipakai adalah aksara KE-GE-NGE (huruf rincung) atau yang dikenal umum sebagai surat ulu. Kebudayaan Gumai tercermin pada tari – tarian, nyanyian dan sastra lisan (guritan dan pantun bersahut) serta pencak silat. Alat musik yang dikenal adalah ginggung, serdam, rebab, kenung, gong dan sebagainya. Kehidupan masyarakat Gumai bersifat gotong royong dalam usaha – usaha pertanian dan usaha – usaha kemasyarakatan lainnya dan termasuk dalam pola kehidupan suku berpindah dizamannya. Mata Pencarian masyarakat Gumai dizaman dahulu masih sangat tradisional yang meliputi perladangan darat dan persawahan serta berburu. Adat : Adat Meminang Gadis Adat Menegakkan harta Pusaka Agama : Dari asal muasal sampai dengan keturunan sekarang adalah ISLAM.
Upacara ritual yang spesifik ini berupa penyelenggaraan adat sedekah malam malam empat belas. Adat ini dilakukan secara tetap tiap bulan yaitu setiap tanggal 14 menurut perhitungan peredaran bulan. Upacara adat malam 14 ini diselenggarakan dengan sesajen tradisional yang terdiri dari Bubur Malam 14,Bubur Biasa, Apam, Lemang, Punjung Telur, Daun Sirih, Daun Gambir, Kapur Sirih, Ayam Putih Kuning, Ayam Putih Pucat dan cangkir – cangkir berisi air jernih.
· Suku Kaur di Bengkulu: Kabupaten Kaur
Suku Kaur adalah sebuah kelompok etnis berdiam di daerah Bintuhan, Kecamatan Kaur Selatan, Tanjungiman, Kecamatan Kaur Tengah dan Padangguci, kecamatan Kaur Utara, di pinggir pantaisamudra Indonesia, Provinsi Bengkulu. Daerah kediaman orang Kaur berdekatan dengan kediaman orang Serawai & Pasemah. Mereka memiliki bahasa sendiri, yakni bahasa Kaur, yang tergolong rumpun bahasa Melayu.
Kaum wanita suku Kaur di desa Gedung Sako Senahak, masih menyusui bayinya di tempat umum sekalipun. Pada dasarnya mereka orang-orang yang menjaga kebersihan dan berpakaian dengan pantas. Suku Kaur tinggal di rumah batu beratapkan seng. Listrik sudah tersedia. Uniknya rumah-rumah itu semuanya di cat biru & putih. Perapian biasanya digunakan untuk memasak dan sumur terlihat dihalaman belakang, demikian, juga ayam, bebek dan sapi terlihat berlarian di sekitar tempat itu. "Gotong royong" dan pelayanan masyarakat dilakukan di desa ini, misalnya: anda bisa meminta tolong untuk membantu panen dan lain kali anda yang menolong orang lain.
Orang Kaur tidak diperbolehkan menikahi orang dari klen lain. Tetapi bisa menikah dengan orang Kaur dari desa lain. Pernikahan hanya bisa terjadi sesudah perayaan Panen Padi. Usia pernikahan umumnya 20 tahun untuk pria dan 15 - 16 tahun untuk wanita. Jika mempelai laki-laki ingin mempelai wanitanya tinggal bersama keluarga mempelai laki-laki, dia harus membayar keluarga mempelai wanita Rp. 50.000, dan jika mempelai pria harus tinggal di rumah mempelai wanita, orang tua mempelai wanita hanya diwajibkan memberikan kenang-kenangan kepada pihak laki-laki.
Generasi tua suku Kaur biasanya memiliki rata-rata 13 anak dalam tiap keluarga tetapi sekarang dengan adanya Program KB dari Pemerintah mereka hanya memiliki 3 anak.
· Suku Kerinci di Jambi: Kabupaten Kerinci
Suku Kerinci sebagaimana juga halnya dengan suku-suku lain di Sumatra termasuk ras Mongoloid Selatan berbahasa Austronesia. Berdasarkan bahasa dan adat-istiadat suku Kerinci termasuk dalam kategori Melayu, dan paling dekat dengan Minangkabau dan Melayu Jambi. Sebagian besar suku Kerinci menggunakan bahasa Kerinci, yang memiliki beragam dialek, yang bisa berbeda cukup jauh antar satu tempat dengan tempat lainnya di dalam wilayah Kabupaten Kerinci. Untuk berbicara dengan pendatang biasanya digunakan bahasa Minangkabau atau bahasa Indonesia (yang masih dikenal dengan sebutan Melayu Tinggi). Suku Kerinci memiliki aksara yang disebut surat incung yang merupakan salah satu variasi surat ulu. Suku Kerinci merupakan masyarakat matrilineal.
Masyarakat Kerinci menarik garis keturunan secara matrilineal, artinya seorang yang dilahirkan menurut garis ibu menurut suku ibu. Suami harus tunduk dan taat pada tenganai rumah, yaitu saudara laki-laki dari istrinya. Dalam masyarakat Kerinci perkawinan dilaksanakan menurut adat istiadat yang disesuaikan dengan ajaran agama Islam.
Hubungan kekerabatan di Kerinci mempunyai rasa kekeluargaan yang mendalam. Rasa sosial, tolong-menolong, kegotongroyongan tetap tertanam dalam jiwa masyarakat Kerinci. Antara satu keluarga dengan keluarga lainnya ada rasa kebersamaan dan keakraban. Ini ditandai dengan adanya panggilan-panggilan pasa saudara-saudara dengan nama panggilan yang khas. Karenanya keluarga atau antar keluarga sangat peka terhadap lingkungan atau keluarga lain. Antara orang tua dengan anak, saudara-saudara perempuan seibu, begitupun saudara-saudara laki-laki merupakan hubungan yang potensial dalam menggerakkan suatu kegiatan tertentu.
· Suku Kluet di Aceh: Aceh Selatan
Suku Kluet adalah sebuah suku yang mendiami beberapa kecamatan di kabupaten Aceh Selatan, yaitu kecamatan Kluet Utara, Kluet Selatan, Kluet Tengah, dan Kluet Timur. Sebenarnya, Kluet memiliki adat dan budaya yang heterogen. Hal ini karena wilayah tersebut didiami tiga suku: Kluwat, Aceh, dan Aneuk Jamee. Tentu saja ini kekayaan tersendiri bagi masyarakat Kluet jika mereka mau bersatu-padu.
Kluet memiliki sejumlah adat dan budaya yang masih lestari. Adat dan budaya itu bertunas dan tumbuh dalam kearifan masyarakatnya secara umum. Adat istiadat tersebut terus kontinyu turun temurun. Hal ini dapat dilihat pada prosesi perkawinan, sunat rasul, kematian, pengobatan, dan sebagainya.
Dalam suku kluwat dikenal dua macam syair dalam kearifan masyarakat Kluwat: syair mebobo dan syair mekato. Syair mebobo biasanya digunakan oleh rombongan pengantar pengantin laki-laki (linto baro). Sedangkan syair mekato, merupakan pantun yang berbalas-balas antara rombongan mempelai laki dan rombongan mempelai perempuan.
Syair mebobo juga kerap digunakan saat melepas anak pergi ke rantau atau saat sunat rasul. Kebiasaan ini masih hidup dalam masyarakat Kluwat hingga sekarang. Hanya saja, setelah saya mencoba bertanya pada salah satu tetua kampung di desa Lawe Sawah kecamatan Kluet Timur yang mengatakan bahwa tidak semua orang dapat memainkan kedua syair tersebut karena butuh kemahiran tersendiri untuk melantunkannya. Pemain syair ini serupa trobadur.
Dalam masyarakat ini berlaku juga mitos-mitos semisal merampot—disamun makhluk halus. Namun demikian, nilai-nilai keislaman juga masih kokoh di sana, di samping nilai gotong royong dan silaturrahmi. Karena itu, sangat disayangkan jika daerah ini kemudian terkesan abai dari perhatian pemerintah. Apalagi, di tengah kecamuk internal dalam masyarakat itu sendiri.
· Suku Laut, Kepulauan Riau
Ada salah satu suku nih yang harus kalian tahu, yaitu Suku Laut. Suku Laut ini terdapat di Pulau Abang-Batam, Kepulauan Riau. Auku Laut ini salah satu suku tertua di Batam. Warga Suku Laut memakai pakaiandari kain tepatnya seperti sarung gitu, tapi ada bedanya nih perempuan dengan laki-laki. Kalau perempuan memakai kain atau sarung menutup dada sampai betis atau semata kaki(seperti kemben) sedangkan laki-laki hanya menutup pinggang sampai menutup lutut.
Warga suku Laut mempercayai bahwa memancing pada tengah malam akan mendapatkan ikan lebih mudah, mereka memancing hanya menggunakan perahu sederhana(getek) dan tombak. Dan jika mereka tidak mendapatkan ikan mereka tidak boleh pulang dan terpaksa harus tidur dalam getek tanpa selimut(sekadarnya).
Tetapi jika seorang anak laki-laki yang mendapatkan ikan hasil tangkapannya, itu bertanda anak lelaki tersebut sudah resmi menjadi anak suku Laut. Cara yang dilakukan mereka untuk mendapatkan ikan dengan cara menombak ikan.
Warga suku Laut sangat marah bila ada suku lain atau pendatang baru yang mengatakan bahwa suku mereka adalah suku sampah, karena warga akan tetap menjaga kebudayaan yang sudah tertanam dalam diri mereka.
· Suku Lematang di Sumatera Selatan
Suku Lematang tinggal di antara Kabupaten Muara Enim dan Kabupaten Lahat. Daerah ini berbatasan dengan daerah Kikim dan Enim. Suku ini menempati wilayah di sepanjang sungai Lematang (yang termasuk sungai yang dalam dan merupakan salah satu dari aliran Batanghari Sembilan), di sekitar kota Muaraenim dan kota Prabumulih, dekat dengan kota Gelumbang. Juga di sepanjang wilayah dekat aliran sungai Rawas dekat kota Bingintelok dan Terusan. Daerah Lematang memiliki 4 kecamatan, salah satunya Kecamatan Merapi yang terdiri dari 37 buah desa di antaranya Desa Muara Lawai, Gedung Agung, Banjarsari, Kota Agung, Tanjung baru, Arahan, dll. Asal usul orang Lematang dari kerajaan Majapahit, keturunan orang Banten dan Wali Sembilan.
Rumah orang Lematang berbentuk rumah panggung dengan model limas. Model ini dilatarbelakangi oleh 2 faktor : pertama, karena dikelilingi oleh hutan lebat maka sering diganggu binatang buas; kedua, daerahnya berawa-rawa karena terletak di sekitar sungai. Rumah-rumah ini memiliki tempat duduk yang menghadap ke jalan raya di bagian depan rumah yang disebut pance. Pance adalah tempat untuk bersantai baik dengan sesama anggota keluarga maupun dengan orang yang berkunjung.
Ada dua sistem adat pernikahan orang Lematang: 1) calon mempelai laki-laki akan menjadi anggota keluarga penuh dari calon mempelai perempuan, dimana hal ini berarti semua biaya pernikahan ditanggung oleh pihak perempuan; 2) mempelai laki-laki bersama mempelai perempuan diperbolehkan meninggalkan mertuanya untuk mencari pekerjaan di daerah lain, namun jaminan masa tua mertua tetap menjadi tanggung jawab mereka.
Bila orang luar menikah dengan salah satu orang Lematang harus menikah secara Islam. Setelah acara pernikahan tersebut, mereka diberikan kebebasan untuk memeluk agama lain. Namun, setelah berpindah agama ia masih diterima sebagai anggota keluarganya, tetapi tidak diterima lagi sebagai masyarakat Lematang. Harta warisan diserahkan kepada anak perempuan. Akibatnya banyak anak laki-laki yang merantau untuk mencari nafkah.
Masyarakat Lematang saat ini beragama Islam namun mereka masih tetap terlibat dalam ilmu-ilmu gaib. Mereka memiliki dua pandangan hidup : pertama, dalam hal kepercayaan, mereka memilki pandangan bahwa semua agama itu sama bagusnya; kedua, dalam hal adat istiadat, mereka menganggap bahwa adat istiadat mereka dapat dikatakan sebagai adat istiadat Lahat dan juga Muara Enim.
· Suku Lembak, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu
Suku Lembak adalah suku bangsa yang pemukimannya tersebar di kota Bengkulu, Bengkulu Utara, kabupaten Bengkulu Tengah, kabupaten Rejang Lebong, dan kabupaten Kepahiang. Suku Lembak di kabupaten Rejang Lebong bermukim di kecamatan Padang Ulak Tanding, Sindang Kelingi, dan Kota Padang. Di kabupaten Kepahiang, suku Lembak mendiami desa Suro Lembak di kecamatan Ujan Mas.
Suku Lembak tidak jauh berbeda dengan masyarakat Melayu pada umumnya, namun dalam beberapa hal terdapat perbedaan. Jika ditinjau dari segi bahasanya, suku Lembak dengan Melayu Bengkulu (pesisir) terdapat perbedaan dari segi pengucapan kata-katanya, Melayu Bengkulu kata-katanya banyak diakhiri dengan huruf 'o' sedangkan suku Lembak banyak menggunakan huruf 'e', selain itu ada kosakata yang berbeda.
Suku Lembak adalah pemeluk agama Islam sehingga budayanya banyak bernuansakan Islam, disamping itu masih ada pengaruh dari kebudayaan lainnya. Dari sisi adat-istiadat antara Melayu Bengkulu dan suku Lembak ada terdapat kesamaan dan juga perbedaan, ada hal-hal yang terdapat dalam Melayu Bengkulu tidak terdapat dalam masyarakat Lembak, dan sebaliknya. Secara garis besar, kebudayaan Melayu mendominasi kebudayaan suku Lembak.
· Suku Lintang, Sumatera Selatan
Kawasan pegunungan Bukit Barisan di Sumatera Selatan merupakan tempat tinggal suku Lintang, diapit oleh suku Pasemah dan Rejang. Suku Lintang merupakan salah satu suku Melayu yang tinggal di sepanjang tepi sungai Musi di Propinsi Sumatera Selatan. Secara geografis, ada 4 `pintu masuk' ke daerah mereka : Muarapinang, Pendopo, Tebingtinggi dan Ulumusi.
Kondisi perekonomian suku Lintang masih sangat memprihatinkan, sehingga mereka tidak segan-segan melakukan hal-hal yang negatif untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Sistem kekeluargaan menganut sistem patrilineal. Para pria bekerja sebagai petani, tetapi pekerjaan itu hanyalah musiman dengan panen kopi yang hanya setahun sekali. Para wanita juga ikut bekerja di ladang, dan seringkali meninggalkan anak-anaknya di rumah, sehingga anak-anak sedikit mendapatkan pengawasan dan terlalu bebas. Sedangkan kelompok orang Lintang yang tidak mengerjakan pekerjaan kasar biasanya mempunyai kuku panjang di jari kelingkingnya. Kaum muda suku Lintang biasanya memilih pasangan hidupnya sendiri tetapi pengaturannya dilakukan pihak keluarga. Rumah-rumah mereka terbuat dari kayu dan dibangun di atas tiang-tiang penyangga (rumah panggung).
Pemimpin masyarakat biasanya adalah kaum pria dan orang Lintang asli. Kepemimpinan kaum pria ini sudah melekat kuat dalam masyarakat Muslim. Bila timbul konflik, mereka menyelesaikannya di tingkat keluarga; bila masih tidak bisa diselesaikan, masalahnya akan dibawa ke para pemimpin/penatua desa. Kalau tetap tidak bisa diselesaikan, biasanya akan dibawa ke polisi/makamah agama.
· Suku Mentawai di Sumatera Barat: Kabupaten Kepulauan Mentawai
Suku Mentawai merupakan kelompok masyarakat yang hidup dan menetap di kepulauan Mentawai, propinsi Sumatera Barat. Turun temurun, suku Mentawai tinggal di empat pulau besar di kepulauan Mentawai yakni Sibora, Siberut, Pagai Utara serta Pagai Selatan. Secara turun temurun, suku Mentawai hidup sederhana di dalam sebuah Uma. Uma merupakan rumah yang terbuat dari kayu pohon. Arsitektur bangunan rumah Mentawai berbentuk panggung.
· Suku Minangkabau, Sumatera Barat
Daerah Minangkabau meliputi wilayah seluas provinsi Sumatra Barat, secara tradisional, daerah barat dianggap sebagai asal kabupaten Minangkabau.
Matrilineal merupakan salah satu aspek utama dalam mendefinisikan identitas masyarakat Minang. Adat dan budaya mereka menempatkan pihak perempuan bertindak sebagai pewaris harta pusaka dan kekerabatan. Garis keturunan dirujuk kepada ibu yang dikenal dengan Samande (se-ibu). Sedangkan ayah mereka disebut oleh masyarakat dengan nama Sumando (ipar) dan diperlakukan sebagai tamu dalam keluarga.
Kaum perempuan di Minangkabau memiliki kedudukan yang istimewa sehingga dijuluki dengan Bundo Kanduang, memainkan peranan dalam menentukan keberhasilan pelaksanaan keputusan-keputusan yang dibuat oleh kaum lelaki dalam posisi mereka sebagai mamak (paman atau saudara dari pihak ibu), dan penghulu (kepala suku). Pengaruh yang besar tersebut menjadikan perempuan Minang disimbolkan sebagai Limpapeh Rumah nan Gadang (pilar utama rumah). Walau kekuasaan sangat dipengaruhi oleh penguasaan terhadap aset ekonomi namun kaum lelaki dari keluarga pihak perempuan tersebut masih tetap memegang otoritas atau memiliki legitimasi kekuasaan pada komunitasnya.
Rumah adat Minangkabau disebut dengan Rumah Gadang, yang biasanya dibangun di atas sebidang tanah milik keluarga induk dalam suku tersebut secara turun temurun. Rumah Gadang ini dibuat berbentuk empat persegi panjang dan dibagi atas dua bagian muka dan belakang. Umumnya berbahan kayu, dan sepintas kelihatan seperti bentuk rumah panggung dengan atap yang khas, menonjol seperti tanduk kerbau yang biasa disebut gonjong dan dahulunya atap ini berbahan ijuk sebelum berganti dengan atap seng. Di halaman depan rumah gadang, biasanya didirikan dua buah Rangkiang atau lebih yang digunakan sebagai tempat penyimpanan padi milik suatu kaum.
Selain itu dalam budaya Minangkabau, tidak semua kawasan boleh didirikan Rumah Gadang, hanya pada kawasan yang telah berstatus nagari saja, rumah adat ini boleh ditegakkan.
Masyarakat Minang juga dikenal akan aneka masakannya, dengan citarasa yang pedas, serta dapat ditemukan hampir di seluruh Nusantara, bahkan sampai ke luar negeri. Walau masakan ini kadang lebih dikenal dengan nama Masakan Padang, meskipun begitu sebenarnya dikenal sebagai masakan etnik Minang secara umum.
Rendang salah satu masakan tradisional masyarakat Minang, pada tahun 2011 dinobatkan sebagai hidangan peringkat pertama dalam daftar World’s 50 Most Delicious Foods (50 Hidangan Terlezat Dunia) yang digelar oleh CNN International.
· Suku Palembang di Sumatera Selatan: Kota Palembang
Suku Palembang menempati di tepi sungai Musi, propinsi Sumatera Selatan. Suku Palembang dibagi dalam dua kelompok : Wong Jeroo merupakan keturunan bangsawan/hartawan dan sedikit lebih rendah dari orang-orang istana dari kerajaan tempo dulu yang berpusat di Palembang, dan Wong Jabo adalah rakyat biasa. Seorang yang ahli tentang asal usul orang Palembang yang juga keturunan raja, mengakui bahwa suku Palembang merupakan hasil dari peleburan bangsa Arab, Cina, suku Jawa dan kelompok-kelompok suku lainnya di Indonesia.
Orang Palembang masih tinggal/menetap di dalam rumah yang didirikan di atas air. Model arsitektur rumah orang Palembang yang paling khas adalah rumah Limas (bergaya Piramid) yang kebanyakan didirikan di atas panggung di atas air untuk melindungi dari banjir yang terus terjadi dari dahulu sampai sekarang. Di kawasan sungai Musi sering terlihat orang Palembang menawarkan dagangannya di atas perahu.
Dalam sistem kekeluargaan, suami/ayah berfungsi sebagai pelindung rumah tangga dengan tugas pokok mencari nafkah. Istri bertanggung jawab menjaga ketertiban dan keharmonisan rumah tangga sehingga para suami dapat berkata "rumah tanggaku adalah surgaku." Sehubungan dengan anak-anak, para keluarga lebih mengharapkan anak lelaki. Para kakek-kakek dari kedua belah pihak menganggap cucu lelaki sebagai jaminan dan bakal negeri (memperkuat kekuatan mereka) dan negakke jurai (jaminan sebagai penerus garis keturunan mereka).
Orang Palembang umumnya beragama Islam. Mereka memegang teguh semboyan sondok piyogo yang maksudnya adalah : Adat dipangku, syari'at dijunjung, artinya. Meskipun mereka sudah mengecap pendidikan tinggi, mereka tetap mempertahankan adat kebiasaan suku Palembang.
· Suku Pasemah di Sumatera Selatan
Suku Pasemah seperti pada umumnya suku melayu, banyak terdapat pantun dan puisi-puisi. Namun ada juga sastra lisan yang digunakan oleh masyarakat Pasemah, seperti betadut´ yaitu tradisi dalam suasana berkabung. Betadut ini adalah sebuah tradisi dimana seseorang yang usianya lanjut atau tua yang menceritakan kisah hidup seseorang yang telah meninggal. Betadut dilakukan pada malam hari setelah jenazah orang yang diceritakan dalam tradisi betadut ini dimakamkan.Orang yang melakukan tradisi ini juga harus orang yang benar-benar mengetahui jalan hidup orang yang telah meninggal tersebut. Orang yang betadut ini pun harus bisa bercerita, petadut ini berposisi menunduk sambil mengingat-ingat apasaja yang pernah dilakukan oleh orang yang telah meninggal tersebut. Rumah adat atau tradisional Pasemah dinamakan rumah tinggi atau rumah panggung. Rumah tradisional ini disebut rumah tinggi karena ukuran rumah sangat tinggi. Rumah tradisional Pasemah berukuran tinggi dengan menggunakan tiang karena pada jaman dulu keadaan Pasemah masih sepi dan masih banyak hewan buas. Agar tidak diganggu binatang buas maka masyarakat Pasemah membuat rumahnya tinggi-tinggi. Rumah tradisional Pasemah berbahan dasar kayu.
Lemang adalah makanan yang biasanya disajikan dengan tapai. Meski lemang selalu tersedia setiap saat, namun keberadaan lemang akan lebih terasa pada saat hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Saat ini lemang banyak dijual di banyak daerah, namun para penggemar lemang akan sepakat bahwa lemang yang paling enak adalah lemang yang berasal dari daerah asalnya, yakni Pasemah.
· Suku Rejang di Bengkulu: Kabupaten Kepahiang, Kabupaten Lebong, dan Kabupaten Rejang Lebong
Suku Rejang menyebar sampai ke daerah Lebong, Kepahiang, Curup dan sampai di tepi sungai ulu musi di perbatasan dengan Sumatera Selatan. Suku Rejang terbanyak menempati kabupaten Rejang Lebong, kabupaten Kepahiang, dan kabupaten Lebong. Bila kita lihat dari dialek bahasa yang digunakan penutur bahasa Rejang, sangat jelas perbedaan antara bahasa Melayu dan bahasa daerah di Sumatera lainnya.
Suku rejang juga memiliki adat dan budaya dalam melakukan beberapa kegiatan ataupun upacara adat. Salah satunya adalah cara untuk menikahkan anak dan adat untuk membayar nazar jikalau kita ingin membayar nazar atau hutang. Cara yang dilakukan adalah memakai sesajen untuk berkomunikasi dengan pada arwah-arwah atau penghulu-penghulu kita yang sudah pergi. Kita memberi tahu jika kita ingin membayar nazar aatu ingin mengadakan pernikahan anak kita. Sesajen ini biasanya dengan menyertakan ayam yang dalam bahasa rejangnya disebut mono' biing.
Pada zaman dahulu, sebelum memakai benih untuk menanam harus mengundang benih terlebih dahulu, yang disebut bekejai binia'. Benih ini ditaroh didalam tadeu (sejenis keranjang yang terbuat dari rotan atau bambu). Ngekejai (belum jelas apa/siapa ngekejai) memanggil malaikat jibril, israfil, mikail dan juga para dewa. Jika jumlah benih yang ada didalem tadeu semakin banyak jumlahnya berarti ada harapan hasil panen akan banyak dan ada rezeki nantinya. Namun jika benihnya tidak bertambah banyak jumlahnya mungkin pertanda hasil ladang kita tidak akan maksimal hasilnya. Jika ingin memotong bambu itu bagi orang rejang ada pantangannya, begitu juga jika ingin membuka hutan. Jika kita ingin membuka hutan kita harus menabeues, menyatakan maksud kita kepada yang menjaganya. tanea' talai istilahnya, tukang ngembalo tanea' dunionyo (penjaga tanah di dunia ini). Tuhan tidak hanya menurunkan sesuatu ke bumi ini tanpa ada yang menjaganya. Jika kita ingin membuka lahan disuatu area tersebut kita tancapkan sebuah pancang. Jika diarea yang kita beri tanda tidak menyahut atau ada pertanda yaitu misalnya berupa binatang mati atau berupa darah, berarti kita harus membatalkan niat kita untuk membuka lahan disana dan pertanda bukan rezeki kita disana, melainkan tanda bala' yang memanggil kita.
· Suku Sekak Bangka
Suku Sekak Bangka merupakan suku yang mendiami pesisir sepanjang Pulau Bangka. Sebagian besar suku ini masih menganut kepercayaan aninisme dan dynamisme. Namun ada juga akhir-akhir ini yang menganut agama Islam dan Kristen. Ciri khas suku ini adalah mereka selalu mendiami daerah peisir pantai dan mata pencaharian mereka adalah nelayan. Suku Sekak merupakan rumpun bangsa melayu yasng mana bahasa dan dialek yang digunakan hampir mirip dengan bahasa melayu namun ada perbedaan yang cukup mencolok antara suku Sekak atau orang Sekak dibandingkan dengan orang yang mendiami pulau bangka. sekalipun warna kulit yang agak hitam. sebagian besar suku sekak mendiami daerah pantai didaerah utara pulau bangka. kalau dilihat sepintas ada kemiripan dengan suku -suku lain di Indonesia khususnya di daratan sumatera.sekarang ini suku ini tidak lagi merupakan suku terasing karena mereka sudah beradaptasi dengan budaya- budaya dari luar.
· Suku Sekayu di Sumatera Selatan
Suku Sekayu terletak di Propinsi Sumatera Selatan. Dalam wilayah Kabupaten Musi Banyuasin. Mayoritas penduduknya petani. Hasil pertaniannya adalah padi, singkong, ubi, jagung, kacang tanah dan kedelai. Hasil perkebunan yang menonjol adalah karet, cengkeh dan kopi. Industri rakyat yang terkenal berupa bata dan genteng.
Suku Sekayu merupakan "manusia sungai" dan senang mendirikan rumah-rumah yang langsung berhubungan dengan sungai Musi. Tidak seperti umumnya suku-suku di Indonesia, suku Bugis, Minangkabau atau Jawa, suku Sekayu jarang berpindah-pindah ke tempat yang jauh. Keinginan untuk lebih maju dan mencari keberuntungan mereka lakukan hanya sampai di ibukota propinsi.
Suku Sekayu yang tinggal di Palembang menduduki ragam sektor pekerjaan yang penting, mulai dari guru besar/dosen universitas, ahli riset, hartawan, dan bahkan pengembang lahan. Dalam mengejar harapan, suku Sekayu tergolong ambisius. Mereka berpantang mundur sebelum tercapai. Sesuai dengan semboyan daerah yang telah temurun mendarah: mati dem asak ngetop (biar mati yang penting ngetop => yang penting tercapai keinginan). Begitulah mereka, suku Sekayu rela berdarah-darah dalam mengejar harapan-harapannya. Biar mati yang penting tercapai keinginan.
· Suku Semendo di Bengkulu, Sumatera Selatan: Muara Enim
Suku Semendo berada di Kecamatan Semendo, Kabupaten Muara Enim, Propinsi Sumatera Selatan. Menurut sejarahnya, suku Semendo berasal dari keturunan suku Banten yang pada beberapa abad silam pergi merantau dari Jawa ke pulau Sumatera, dan kemudian menetap dan beranak cucu di daerah Semendo.
Adat istiadat serta kebudayaan daerah ini sangat dipengaruhi oleh nafas keIslaman yang sangat kuat. Mulai dari musik rebana, lagu-lagu daerah dan tari-tarian sangat dipengaruhi oleh budaya melayu Islam. Bahasa yang digunakan dalam pergaulan sehari-hari adalah bahasa Semendo. Setiap kata pada setiap bahasa ini umumnya berakhiran "e."
Salah satu adat yang masih dipegang kuat secara turun temurun oleh suku Semendo ialah Adat "Tunggu Tubang", yaitu adat yang mengatur hak warisan dalam satu keluarga, dimana yang berhak atas warisan tersebut adalah anak wanita yang paling tua (sulung). Warisan yang dimaksud adalah terdiri atas satu bidang sawah, dan satu buah rumah yang diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya secara terus menerus. Hal tersebut menjadi penyebab tingginya dorongan untuk merantau bagi anak laki-laki dari masyarakat suku ini.
Orang Semendo secara turun temurun beragama Islam. Ajaran Islam ini cukup berakar dalam masyrakat. Ajaran Islam ini cukup berakar dalam masyarakat.Hal ini dapat terlihat dari betapa patuhnya sebagian dari masyarakat menjalankan syariat Islam secara rutin dan teratur, sesuai dengan rukun Islam. Di mana-mana kita bertemu dengan tempat ibadah baik besar maupun kecil.
Di daerah ini juga terdapat banyak sekali pesantren yang secara khusus mendidik putra putri remaja dan pemuda suku Semendo menjadi penyebar agama Islam di daerahnya.
· Suku Serawai di Bengkulu: Kabupaten Bengkulu Selatan dan Kabupaten Seluma
Suku serawai sebagian besar berdiam di kabupaten Seluma, Kabupaten Bengkulu Selatan dan Kota Bengkulu. Pada zaman dulu daerah mereka mencakup marga Semidang alas, Pasar Manna, Ilir Talo, Ulu Talo, Ulu Manna dan Ilir Manna.
Bentuk kekerabatan orang serawai adalah keluarga luas (klen) bilateral, teriri dari satu keluarga batih yunior keturunan mereka. Adapt menetap sesudah kawin disebut kulo, yaitu perjanjian sebelum kawin untuk menentukan tempat tinggal. Sifat bilateral hanya kentara dalam soal mengatur perkawinan, tetapi garis keturunannya cenderung patrilineal.
Keluarga terbentuk karena adanya hubungan genealogis dari seorang kakek (puyang) yang sama. Bentuk kekerabatan ini juga disebut jughai tuo atau sepuyang. Beberapa jughai bisa bergabung karena punya asal – usul dari puyang yang sam, gabungan ini biasa disebut jungku atau kepuyangan. Setiap jughai dipimpin oleh seorang jughai tuo. Setiap jungku dipimpin oleh seorang jungku tuo yang dipilih an diangkat oleh para jughai tuo. Sebuah kampung biasanya didiami oleh bebrapa jungku, pemimpinnya biasa disebut jugangau dusun, kekuasaannya dulu meliputi masalah adapt dan relegi.
Stratifikasi social orang serawai zaman lampau cukup tajam. Mereka mengenal adanya golongan tinggi yang terdiri dari pasirah, mangku, depati, penghulu dan anak – anak mereka. Golongan kedua adalah kaum ulama, cerdik pandai dan pedagang besar. Kemudian baru disebut golongan rakyat biasa.
Alat musik tradisional orang serawai adalah kelintang. Reban, rebab atau redab, suling, gendang dan sebagainya. Alat alat ini dimainkan untuk mengiringi tari – tarian seperti tari : Lelawan, Tari Piring, Kebayakkan, Dang Kumbang, Ari Mabuk, Lagu Duo, Tari Pedang dan sebagainya. Selain itu mereka juga mengenal seni bertutur yang disebut berejung, yaitu acara berbalas pantun antara orang muda.
· Suku Talang Mamak di Riau: Indragiri Hulu
Kepercayaan Talang Mamak masih animisme dan sebagian kecil Katolik sinkritis khusunsya penduduk Siambul dan Talang Lakat. Mereka menyebut dirinya sendiri sebagai orang "Langkah Lama", yang artinya orang adat. Mereka membedakan diri dengan Suku Melayu berdasarkan agama. Jika seorang Talang Mamak telah memeluk Islam, identitasnya berubah jadi Melayu. Orang Talang Mamak menunjukkan identitas secara jelas sebagai orang adat langkah lama. Mereka masih mewarisi tradisi leluhur seperti ada yang berambut panjang, pakai sorban/songkok dan gigi bergarang (hitam karena menginang). Dalam selingkaran hidup (life cycle) mereka masih melakukan upacara-upacara adat mulai dari melahirkan bantuan dukun bayi, timbang bayi, sunat, upacara perkawinan (gawai), berobat dan berdukun, beranggul (tradisi menghibur orang yang kemalangan) dan upacara batambak (menghormati roh yang meninggal dan memperbaiki kuburannya untuk peningkatan status sosial).
Hingga sekarang sebagian besar kelompok Talang Mamak masih melakukan tradisi "mengilir/menyembah raja/datok di Rengat pada bulan Haji dan hari raya" sebuah tradisi yang berkaitan dengan warisan sistem Kerajaan Indragiri. Bagi kelompok ini ada anggapan jika tradisi tersebut dilanggar akan dimakan sumpah yaitu "ke atas ndak bepucuk, ke bawah ndak beurat, di tengah dilarik kumbang" yang artinya tidak berguna dan sia-sia.
Mereka memiliki berbagai kesenian yang dipertunjukkan pada pesta/gawai dan dilakukan pada saat upacara seperti pencak silat yang diiringi dengan gendang, main gambus, tari balai terbang, tari bulian dan main ketebung. Berbagai penyakit dapat disembuhkan dengan upacara-upacara tradisional yang selalu dihubungkan dengan alam gaib dengan bantuan dukun.
Kedekatan Suku Talang Mamak dengan lingkungan tampak dari adat istiadat mereka. Dimana untuk menebang pohon, mereka akan melakukan upacara adat meminta izin kepada leluhur mereka. Tidak hanya itu saja, mereka dilarang menebang pohon yang menghasilkan (misal pohon buah).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar